:

26 November 2008

Mengantisipasi School Refusal

Heningnya pagi ini sontak terpecah kala teriakan Dwi menggema di ruang dapur dengan masih mengenakan piyama. “Aku nggak mau sekolah....pokoknya enggaaaaak !!! Perutku sakit, Maaaa....aku nggak enak badan...lagian aku nggak suka sekolah....aku mau di rumah ajaaaa !!”
Sepertinya jeritan Dwi bukanlah hal yang baru. Setiap orangtua pasti pernah mengalami hal yang dialami oleh orangtua Dwi. Ketika anak tidak mau sekolah, semua alasan-alasan pendukung pun keluar dari mulut si kecil, yang menandakan bahwa ia melancarkan aksi mogok sekolah.
Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau pada hari libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu terjadi pada setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya.
Menurut para ahli, ada beberapa tingkatan school refusal (fobia sekolah). Mulai dari yang ringan hingga yang berat yaitu, Initial school refusal behavior (adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan), Substantial school refusal behavior (adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu), Acute school refusal behavior (adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah), Chronic school refusal behavior (adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu).
Dan jika ini terjadi, sebaiknya Anda tak perlu merasa panik berkepanjangan. Berikut ini beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk menanggulangi masalah fobia sekolah yang dialami si kecil.
Tetap Menekankan Pentingnya Bersekolah
Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.
Berusahalah untuk tetap tegas dan konsisten
Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Dan hal penting yang harus diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik, yang berakibat anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya.
Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan jangan bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.
Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru preschool hingga TK). Karena itu orangtua bisa minta bantuan pihak guru untuk menenangkan si buah hati. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap har

Tidak ada komentar: