:

05 Januari 2008

Keluarga=Pendidikan Plus

Dewasa ini sedang marak terdengar oleh kita istilah pendidikan plus yang dipersembahkan oleh sekolah-sekolah di sekitar komunitas kita. Mulai dari TK, SD, hingga SMP dan SMA, umumnya mengumandangkan metode pendidikan plus. Entah itu dari fasilitas yang dihadirkannya, atau pun dari metode pengajaran yang diberikannya. Tapi sungguhkah anak hanya bisa memperoleh pendidikan plus hanya dari sekolahnya saja?

Sebetulnya tidak juga, keluarga adalah tempat anak mengenyam pendidikan paling penting yang kadang luput dari ingatan orang tua. Alasan sibuk mencari uang demi kepentingan si kecil pun tak jarang menjadi tameng pelindung, yang digunakan sebagai alasan mengapa orang tua jarang berada di rumah untuk memberikan pendidikan plus kepada putra putri tercintanya.
Karena banyaknya hal yang harus dipikirkan dan dikerjakan sebagian besar orang tua pun menyerahkan seluruh tanggung jawab mendidik anak pada sekolah ataupun lembaga bimbingan belajar. Padahal sudah seyogyanya kita memahami satu prinsip dasar, bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama pendidikan seorang anak.
Bahkan keluarga bisa dikatakan sebagai sekolah plus. Selama ini, mungkin Anda sibuk mencari sekolah plus, untuk bisa mengatasi “kekurangan” yang ada di rumah atau di dalam pola asuh kita terhadap anak. Namun, kita sering lupa, setelah kita memasukkan anak ke sekolah “plus”, kita tidak mempelajari dan mengambil “nilai plus-nya” untuk diterapkan di rumah. Akibatnya, di rumah tetap minus dan “plus”-nya tertinggal di sekolah.
Ketidakmampuan anak untuk menyerap nilai plus dan mengimplementasikannya di rumah, sebetulnya tidak terlepas dari peran serta orang tua. Acapkali antara sekolah dan keluarga justru memberikan pendidikan yang bertolak belakang. Contoh saja, jika di sekolah anak diajarkan untuk mandiri, seperti mengambil buku sendiri, makan sendiri hingga mengikat tali sepatunya sendiri, tetapi di rumah orang tua justru membiasakan anak hidup dengan kebiasaan menyuruh pengasuhnya, maka pribadi anak akan terbentuk menjadi tidak mandiri di rumah.
Contoh lain, tidak adanya ketegasan dari orang tua, seringkali membuat anak menjadi pemimpin di rumah. Dengan mengandalkan pembantu, maka ia merasa bebas melakukan apa saja dengan bantuan dari seisi rumah.
Karena itulah, orang tua perlu mencari benang merah dan sinkronisasi beberapa hal yang utama, yang membantu anak mengembangkan hal-hal dasar dalam kepribadiannya. Sebagaimana orang tua memilih sekolah yang sesuai dengan orientasi nilai dan harapan mereka, begitu juga orang tua seyogyanya mengadaptasikan pola-pola pendidikan yang konstruktif dan positif dari sekolah. Paling tidak, di antara keduanya, saling mengisi, dan bukan saling meniadakan.
Untuk itulah, komunikasi orang tua dengan anak, dan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah, menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kita tidak bisa bersikap “tahu beres” baik terhadap anak maupun pihak sekolah. Karena, ketika terjadi ketidakberesan, kita tidak bisa semata-mata menunjuk pihak sekolah sebagai “biang keladi” dari persoalan yang dihadapi anak. Bisa saja persoalan terjadi di sekolah, namun kita harus melihatnya secara bijaksana, karena reaksi seorang anak terhadap sesuatu, sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dilaluinya dan pola asuh yang paling mendominasi bentukan sikap dan kepribadiannya.
Jadi, keluarga, adalah tempat utama pendidikan dan pengembangan seorang anak. Sekolah, pada dasarnya mengarahkan, memberikan bimbingan dan kerangka, bagi anak untuk belajar, bertumbuh dan berkembang. Sementara keluarga, justru menjadi center of education yang utama, pertama dan mendasar.



[+/-] Selengkapnya...


Tidak ada komentar: