:

05 Januari 2008

“Mandikan Aku Bunda…”

Sebagian wanita menganggap tugas utamanya adalah sebagai “manajer” dirumahnya dan tak perlu dipusingkan dengan urusan dapur maupun merawat anak. Mereka menganggap hal tersebut lebih pantas dilakukan oleh para bawahan, alias pembantu atau baby sitter.

Namun, di sisi lain, tidak sedikit wanita yang tetap "teguh" dan bangga dengan kesibukan seputar urusan dapur maupun anak. Bagi mereka, “imbalan” surga untuk jerih payahnya, mampu menyeka wajah dari asap dapur dan mengubah aroma popok bayi menjadi harum mewangi.
Bukan kelebihan maupun kekurangan yang ingin saya sampaikan kali ini. Saya hanya ingin bercerita tentang seorang sahabat yang sebut saja namanya Rani.
Semasa kuliah Rani tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas, meraih yang terbaik, entah itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya.
Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran, Rani memilih jalur hukum. Sesaat, kami berpisah. Saya mendengar kabar, Rani mendapat pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Aubrey, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Ketika Aubrey berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi.
Saya pernah bertanya, "Tidakkah Aubrey terlalu kecil untuk ditinggal ?" Dengan sigap Rani menjawab, "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok." Memang, itu betul-betul dibuktikannya. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter, betul-betul mengagumkan. Aubrey tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek maupun neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu dan bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu neneknya berkata. Ya, siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
Mengagumkan memang. Aubrey bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Aubrey menolak dimandikan baby sitternya. "Aubrey ingin bunda mandikan," ujarnya. Karuan saja Rani menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Aubrey mau mandi dengan baby sitternya. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Aubrey sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadi agak minta perhatian. Permintaan itu berulang-ulang ditujukan Aubrey kepada orangtuanya.
Suatu sore, saya dikejutkan telepon dari sang baby sitter. "Bu dokter, Aubrey demam dan kejang-kejang, Sekarang di emergency." Setelah terbang saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Tuhan sudah punya rencana lain. Aubrey Si Malaikat Kecil telah tiada.
Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. "Ini bunda. Bunda mandikan Aubrey," ucapnya lirih, namun teramat pedih.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya kan? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan?." Saya diam saja mendengarkan.
"Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma Kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. "Aku ibunya!" serunya kemudian, "Bangunlah, Aubrey. Bunda mau mandikan Aubrey. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja." Rintihan itu begitu menyayat.
Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami-isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut: "Mandikan aku, Bunda." Akankah kita menolak? Ataukah menunggu sampai terlambat?



[+/-] Selengkapnya...


Tidak ada komentar: