:

30 Maret 2009

Kata-Kata Kasar

Suatu hari saya menabrak seseorang saat tergesa-gesa akan masuk lift di kantor. "Oh, maafkan saya!” kata saya sambil menganggukan kepala kepada orang tersebut. “Maafkan saya juga. Saya tidak melihat Anda," balas orang itu dengan sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.

Tiba di rumah, badan saya terasa penat. Pada hari itu juga, saya harus memasak untuk santap malam keluarga. Tanpa saya ketahui, tiba-tiba anak lelaki saya datang dan langsung berdiri di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya terjatuh. "Minggir!" kata saya dengan marah. Ia pergi. Saya tahu, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.
Ketika saya berbaring di tempat tidur, seolah sebuah suara halus berdengung di kepala saya. "Lihatlah, sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan. Tetapi anak yang engkau kasihi, justru kau perlakukan dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga di dekat pintu."
Saya ikuti suara itu. Saya pergi menuju pintu dapur. Di sana tergeletak beberapa kuntum bunga. "Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu. Merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."
Seketika saya merasa malu, dan sekarang air mata mulai menetes di pipi. Saya pelan-pelan pergi ke kamar buah hatiku, dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, Nak, bangun," kata saya. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untuk Ibu?"
Ia tersenyum, "Aku menemukannya jatuh dari pohon. Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."
"Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu. Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."
"Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."
"Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."
Pembaca, apakah Anda menyadari bahwa jika kita mati besok, kantor atau perusahaan di mana kita bekerja, bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari. Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.
Coba renungkan, apakah jika kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan, ketimbang keluarga sendiri, itu merupakan investasi bijaksana? Saya rasa tidak!

Tidak ada komentar: